Tak semua luka terlihat. Dan tak semua krisis diumumkan lewat sirene. Ketika lebih dari 23 ribu kasus sifilis tercatat sepanjang tahun 2024, Indonesia tak hanya sedang menghadapi masalah medis, tetapi sebuah kegentingan diam-diam yang menanyakan kembali: bagaimana kita menjaga tubuh dan nilai-nilai yang membentuknya?
Data ini dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI, namun gema yang lebih keras datang dari suara anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani. Ia menyebut ledakan ini sebagai “sinyal lemahnya perlindungan negara terhadap generasi bangsa.” Ungkapan yang tak hanya menyentil birokrasi, tapi juga keheningan sosial di sekitar kita.
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual yang ditularkan melalui kontak langsung dengan luka terbuka, termasuk di area genital dan mulut. Namun, seperti yang ditegaskan Netty, penyakit ini tak selalu menyerang mereka yang dianggap “berisiko tinggi”. Ia bisa muncul di tubuh siapa saja—tanpa prasangka sosial atau stereotip moral.
Di tengah budaya yang canggung bicara soal seksualitas dan kesehatan reproduksi, banyak remaja dan keluarga justru terjebak dalam ruang sunyi. Mereka tidak tahu harus belajar dari mana, dan malu untuk bertanya. Sementara waktu berjalan, dan tubuh diam-diam bisa menjadi sasaran.
Netty menyarankan agar pemerintah tidak sekadar mengeluarkan imbauan normatif. Ia mendorong langkah konkret: memperkuat edukasi kesehatan reproduksi berbasis budaya, memperluas layanan deteksi dini yang gratis dan rahasia, serta membangun ketahanan keluarga yang lebih dari sekadar slogan.
Di bawah permukaan, penyakit ini telah menantang kita untuk menata ulang cara hidup—tentang bagaimana kita membicarakan tubuh, relasi, dan tanggung jawab bersama. Karena ketahanan kesehatan bangsa tidak cukup dibangun di ruang seminar, tetapi di meja makan keluarga dan ruang kelas yang berani mendengar.
Isu ini tak bisa diserahkan hanya kepada dokter atau pejabat kementerian. Ia butuh dukungan tokoh masyarakat, guru, orang tua, dan media untuk membentuk gerakan yang tidak memarahi, tapi merawat. Yang tidak hanya mencegah, tapi memulihkan.
Ketika penyakit menyebar dalam diam, perlawanan terbaik bukan teriakan, tapi keberanian mendengarkan. Dan dalam tiap tubuh yang dirawat dengan kasih dan pengetahuan, di sanalah bangsa belajar sembuh.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.