Lombok Tengah kembali menjadi sorotan setelah sebuah pernikahan usia anak viral di media sosial. Sepasang remaja, YL (14) dan RN (16), mengikat janji dalam prosesi adat Sasak yang megah, menggambarkan romantisme sekaligus realitas keras kehidupan. Tapi di balik kemeriahan Nyongkolan, tersimpan kisah yang lebih dalam.
RN, yang kini memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, tak hanya mencari nafkah untuk istrinya yang masih duduk di bangku SMP tetapi juga merawat neneknya yang sudah renta. Setiap hari, ia berjuang di pasar, menjual tembakau, bawang, dan bahkan barang bekas demi memastikan keluarganya bertahan.
Namun, perjalanan RN menuju kehidupan berkeluarga tak mudah. Ia harus berhadapan dengan berbagai tantangan, termasuk masa lalunya yang penuh gejolak di sekolah. Putus sekolah bukan pilihan, melainkan konsekuensi dari sebuah peristiwa yang mengubah jalannya kehidupan. Kini, pendidikan bagi dirinya dan sang istri menjadi tanda tanya besar.
Kisah ini bukan sekadar tentang dua anak yang memilih menikah. Ini juga tentang nilai sosial yang bertabrakan dengan impian masa depan. Adat Sasak yang kuat memberikan legitimasi atas pernikahan mereka, tetapi di balik tradisi itu, banyak yang mempertanyakan apakah ini benar-benar keputusan terbaik untuk masa depan kedua remaja ini.
Pernikahan dini sering kali dikaitkan dengan minimnya akses pendidikan dan tekanan sosial. Dalam kasus YL dan RN, campur tangan keluarga serta masyarakat memainkan peran penting. Dua kali percobaan pemisahan dilakukan oleh aparat desa, tetapi cinta dan keteguhan hati mereka tak bisa dihentikan.
Saat dunia digital menjadi tempat perdebatan sengit, apakah pernikahan ini pantas atau tidak, satu hal yang pasti—ini bukan hanya sekadar kisah cinta muda, tapi juga cerminan dari kenyataan yang masih ada di berbagai pelosok negeri.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.