Pulau Pari—Di tengah hamparan pasir putih dan laut biru kehijauan, warga Pulau Pari menghadapi ancaman yang semakin nyata. Abrasi dan reklamasi ilegal telah mengikis ruang hidup mereka, memaksa mereka bertahan di tengah krisis lingkungan yang semakin parah.
Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari, mengisahkan bagaimana banjir rob semakin sering terjadi, merendam rumah-rumah warga dan mengancam mata pencaharian mereka. Mangrove yang selama ini menjadi benteng alami telah dibabat untuk proyek reklamasi, mempercepat erosi pantai dan menghancurkan ekosistem laut.
“Baru kali ini kami rasakan rob itu dahsyat sekali,” ujar Mustaghfirin, mengenang banjir terakhir yang menggenangi kawasan Pantai Pasir Perawan.
Tak hanya abrasi, warga juga menghadapi intimidasi dari perusahaan swasta yang mengklaim kepemilikan pulau. Sejak 2016, PT Bumi Pari Asri mengklaim 90% Pulau Pari sebagai miliknya, melarang warga membangun rumah, dan bahkan mengeluarkan somasi agar mereka meninggalkan tanah leluhur mereka.
Namun, warga Pulau Pari tidak tinggal diam. Mereka terus menanam mangrove, mempertahankan ekosistem laut, dan melawan upaya privatisasi pulau. Bersama Walhi dan Dompet Dhuafa, mereka menyerukan penyelamatan Pulau Pari sebelum terlambat.
“Kami yang jaga, kalian yang rusak,” tulis warga dalam poster yang mereka bentangkan saat menghadang alat berat yang hendak mengeruk pasir laut.
Di tengah ketidakpastian, satu pertanyaan menggantung—apakah Pulau Pari akan tetap menjadi milik warganya, atau akan tenggelam dalam kerakusan korporasi dan krisis iklim?
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.