Rizal Sampurna bukan satu-satunya pemuda yang berangkat ke negeri orang demi kehidupan yang lebih baik. Ia tinggalkan Banyuwangi dengan satu tekad: memberikan masa depan yang layak bagi keluarganya. Tawaran bekerja di Kamboja menjadi peluang yang tak bisa ia sia-siakan. Namun, ia tak pernah membayangkan bahwa perjalanan itu justru akan menjadi jalan tanpa pulang.
Di negeri asing, harapan Rizal perlahan berubah menjadi mimpi buruk. Alih-alih pekerjaan yang menjanjikan, ia justru dipaksa bekerja sebagai scammer—menipu orang melalui operasi ilegal yang dikendalikan oleh sindikat. Tidak ada jalan keluar. Ancaman kekerasan, penyiksaan, hingga pemindahan ke Myanmar menjadi ketakutan yang setiap hari mengintainya.
Suatu malam, ia menghubungi keluarganya. Suaranya gemetar, penuh ketidakpastian. “Doakan aku,” katanya lirih. Tak ada penjelasan lebih lanjut, hanya permintaan penuh kepasrahan. Keesokan harinya, sebuah pesan singkat dari seseorang di Kamboja tiba di ponsel keluarganya: Rizal sudah tiada.
Kepulangannya ke tanah kelahiran bukan sebagai pemuda yang membawa kesuksesan, tetapi sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Peti jenazahnya tiba di rumah duka setelah perjalanan panjang dari Phnom Penh. Saat dibuka, wajahnya tampak tenang, seolah pasrah pada nasib yang telah menjemputnya. Air mata keluarga tak terbendung, kehilangan yang begitu tragis menyesakkan dada.
Kasus seperti Rizal bukanlah satu atau dua kali terjadi. Jaringan perdagangan manusia terus mengincar pemuda yang mencari jalan keluar dari kemiskinan. Harapan mereka dijadikan alat, mimpi mereka dipermainkan, hingga mereka terjebak dalam eksploitasi tanpa kepastian pulang.
Keluarga Rizal tak hanya kehilangan seorang anak, tapi juga kehilangan harapan. Mereka hanya ingin keadilan, ingin suara mereka didengar. “Kami ingin mereka yang bertanggung jawab dihukum. Kami ingin orang lain tidak mengalami hal yang sama seperti Rizal,” kata sang ayah dengan penuh kepedihan.
Pemerintah Indonesia berjanji untuk meningkatkan pengawasan terhadap perekrutan tenaga kerja luar negeri. Namun, langkah ini belum cukup. Tanpa tindakan nyata yang lebih tegas terhadap sindikat perdagangan manusia, korban-korban baru akan terus berjatuhan.
Rizal kini telah pulang ke tempat di mana ia bermula. Bukan sebagai pemuda yang menggapai impian, tetapi sebagai kisah yang menyisakan luka dalam. Keheningan menyelimuti rumah duka, hanya suara tangis yang menjadi saksi bahwa seseorang telah pergi tanpa sempat bertanya, kenapa ini terjadi padaku?
Kini, kita dihadapkan pada satu pertanyaan besar: Sampai kapan kita akan diam?
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.