Sarah dan Jerat Pinjol: Perjuangan Seorang Anak untuk Keluarga

Fenomena, *49 Dilihat

Di sebuah rumah sederhana di Jakarta, Sarah (29) duduk termenung, menatap layar ponselnya yang penuh dengan notifikasi tagihan. Tiga tahun lalu, ia tak pernah membayangkan hidupnya akan dipenuhi dengan utang dari 20 aplikasi pinjaman online—resmi maupun ilegal.

Semua bermula ketika ayahnya meninggal dunia, meninggalkan tunggakan asuransi kesehatan yang ternyata tetap harus dibayar. Di saat yang sama, ibunya berjuang melawan diabetes, membutuhkan obat yang harganya lebih dari Rp 1 juta per bulan. Dengan gaji yang tak cukup untuk menutupi semua kebutuhan, Sarah mengambil keputusan yang mengubah hidupnya: meminjam uang dari pinjol.

“Saya gali lubang tutup lubang, sampai akhirnya terjerat 20 pinjol,” ungkapnya.

Awalnya, ia hanya meminjam Rp 1 juta per aplikasi, tetapi bunga dan denda yang terus bertambah membuat utangnya membengkak. Lambat laun, cicilan semakin sulit dibayar, dan tekanan dari penagih utang semakin menghantui.

Sarah hampir menjual rumahnya demi melunasi utang, tetapi akhirnya mencari bantuan. Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan bahwa dari 1.944 pengadu kasus pinjol antara 2018-2024, mayoritas adalah perempuan—1.208 orang, dibandingkan 736 laki-laki. Sementara itu, Satgas Pasti OJK mencatat bahwa dari 1.081 korban pinjol ilegal pada Januari-Maret 2025, 61% adalah perempuan.

Kasus Sarah bukanlah satu-satunya. Jerat pinjol terus menghantui masyarakat, terutama mereka yang terdesak kebutuhan mendesak. Pemerintah dan OJK telah mengimbau agar korban pinjol ilegal hanya membayar pokok utang dan mengabaikan bunga serta denda yang tidak sah.

Namun, bagi Sarah dan ribuan korban lainnya, pertanyaan besar masih menggantung: bagaimana keluar dari jerat yang sudah begitu dalam?

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.