Di bawah langit yang mendung, suara ombak yang dulu membawa harapan kini terdengar seperti ancaman. Nelayan Marunda, yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidup pada laut, kini menghadapi kenyataan pahit—pagar beton yang menjulang di perairan mereka.
Ketua Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Muhammad Tahir, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Beton-beton itu saya pastikan reklamasi,” ujarnya, menatap fondasi yang membentang tiga kilometer ke tengah laut.
Reklamasi ini bukan sekadar proyek pembangunan. Ini adalah perampasan ruang hidup nelayan. Wilayah yang dulu menjadi tempat mereka mencari ikan kini berubah menjadi pelabuhan, memaksa mereka melaut lebih jauh, mengeluarkan biaya lebih besar, dan pulang dengan hasil yang tak lagi mencukupi.
“Dulu, dengan modal Rp 300.000, kami bisa dapat Rp 1 juta. Sekarang? Untung Rp 50.000 saja sudah syukur,” keluh Tahir.
Para nelayan tak tinggal diam. Mereka menuntut agar reklamasi dihentikan sebelum semuanya terlambat. Jika tak ada respons dari pemerintah, 25 ribu nelayan siap turun ke jalan, memperjuangkan hak mereka yang semakin terkikis.
“Kalau ini dibiarkan, nelayan akan punah,” tegas Tahir.
Di tengah gelombang yang semakin tinggi, satu pertanyaan menggantung di udara—apakah suara nelayan akan didengar, atau hanya akan tenggelam bersama laut yang semakin menyempit?
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.