Dunia Cahaya
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Ombak memukul lembut tepian pantai, seperti bisikan rahasia alam. Randra, seorang anak nelayan berusia 12 tahun, duduk termenung di atas pasir dingin. Ia memandangi cakrawala dengan perasaan yang sulit ia pahami—sebuah rasa bosan yang bercampur dengan kerinduan akan sesuatu yang belum pernah ia kenali.
Lalu, ia melihatnya.
Kilauan cahaya, jauh di tengah laut, seperti intan yang memantulkan sinar bulan. Detak jantungnya bertambah cepat.
“Apa itu?” pikirnya. “Itu bukan bintang jatuh…”
Dorongan tak tertahankan menguasai Randra. Dengan tangan gemetar, ia melompat ke perahu kecilnya dan mulai mendayung menuju cahaya itu. Angin laut malam menusuk kulitnya, tetapi Randra tidak peduli. Ia hanya tahu bahwa ia harus sampai ke sana.
Tiba-tiba, pusaran air muncul tanpa peringatan. Perahu kecilnya berputar hebat, dan sebelum ia sempat berteriak, semuanya menjadi gelap.
Randra terbangun dengan mata terbelalak. Langit di atasnya bukan lagi biru gelap malam, melainkan ungu lembut seperti sutra. Pohon-pohon di sekitarnya memancarkan cahaya seperti ribuan kristal, dan angin membawa aroma manis yang menenangkan. Di kejauhan, ada kota kaca yang memantulkan spektrum warna pelangi.
Namun, suara lembut membuyarkan kekagumannya.
“Hey, siapa kamu?”
Randra memutar badannya dan melihat seekor makhluk kecil berbulu, dengan sayap kupu-kupu yang memancarkan sinar lembut. Mata makhluk itu, besar dan penuh rasa ingin tahu, menatapnya lekat-lekat.
“Aku… aku Randra. Aku tidak tahu bagaimana aku sampai di sini,” jawab Randra, kebingungan. “Ini di mana?”
Makhluk itu tersenyum, memperlihatkan deretan gigi mungil seperti mutiara. “Kamu berada di Dunia Cahaya,” katanya penuh kebanggaan. “Aku Lumi, salah satu Penjaga Cahaya. Tapi, maaf, aku tidak yakin kenapa kamu di sini…”
Setelah mendengar penjelasan Lumi tentang tugas Penjaga Cahaya dan meredupnya cahaya mimpi manusia, hati Randra terasa berat. Bagaimana mungkin dunia bisa kehilangan kepercayaan pada mimpi? Ia merasakan keberanian yang sebelumnya tak ia sadari.
“Aku ingin membantu,” katanya mantap. “Apa yang harus aku lakukan?”
Dengan Lumi di sisinya, Randra melewati berbagai rintangan: hutan kristal yang penuh teka-teki, sungai emas dengan arus deras, dan lembah bayangan yang menguji keberaniannya. Setiap tantangan membuatnya semakin percaya diri dan memahami arti keyakinan.
Ketika akhirnya mereka tiba di Gunung Permata, Randra berdiri di hadapan Sang Penjaga Mimpi, makhluk raksasa dengan tubuh yang berkilauan seperti galaksi. Suaranya bergema di udara, “Mengapa kau datang ke sini, anak kecil?”
Dengan suara bergetar namun tegas, Randra menjawab, “Aku ingin membantu mengembalikan cahaya mimpi. Aku ingin dunia percaya lagi pada harapan.”
Sang Penjaga Mimpi, yang awalnya terlihat dingin, tersenyum lembut. Ia memberikan sebuah batu kecil yang bercahaya, menyuruh Randra membawa pesan ini ke dunia nyata. Saat Randra kembali ke perahunya dan membuka matanya, ia merasa seperti anak yang berbeda—lebih kuat, lebih percaya diri, dan lebih berani bermimpi.
Sejak malam itu, Randra menjadi inspirasi bagi desanya. Ia membagikan kisah petualangannya, mengajak semua orang untuk tidak pernah takut bermimpi, dan menjaga cahaya harapan tetap bersinar. Batu kecil itu selalu berada di sakunya, mengingatkannya bahwa mimpi adalah sesuatu yang berharga.
*****
Bayangan Hitam Menakutkan
Seminggu telah berlalu sejak Randra kembali dari Dunia Cahaya. Batu bersinar pemberian Sang Penjaga Mimpi selalu ia bawa ke mana pun, tersembunyi di dalam saku kemejanya. Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi di sekolahnya.
Malam itu, Randra mendengar cerita dari temannya, Ali, tentang “Bayangan Hitam” yang sering terlihat di koridor sekolah setelah matahari terbenam.
Ali: (berbisik) “Kamu pernah dengar, Ran? Ada yang bilang kalau bayangan itu… mencuri mimpi orang.”
Randra: (terkejut) “Mencuri mimpi? Apa maksudnya?”
Ali hanya mengangkat bahu, tetapi rasa penasaran Randra tak bisa ditahan. Keesokan harinya, saat semua siswa sudah pulang, Randra memutuskan untuk menyelidiki sendiri.
Langit mulai gelap saat Randra berjalan menyusuri koridor sepi sekolahnya. Lampu-lampu temaram menambah suasana mencekam. Tiba-tiba, dari ujung koridor, ia melihat sesuatu bergerak. Sebuah bayangan besar tanpa wujud pasti, seolah menempel di dinding. Namun, yang membuat Randra bergidik adalah mata merah yang menyala di tengah bayangan itu.
Bayangan: (suaranya parau) “Kau bukan milikku… tapi mimpimu sangat kuat.”
Randra: (mengerutkan alis) “Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?”
Bayangan itu tidak menjawab, melainkan mendekat dengan kecepatan mengejutkan. Randra hampir panik, tetapi batu bersinar di sakunya mulai bergetar. Ia mengeluarkannya, dan cahaya batu itu seketika membuat bayangan itu mundur, meraung dengan suara menyakitkan.
Ketika Randra akhirnya melarikan diri ke ruang kosong untuk bersembunyi, cahaya dari batu itu tiba-tiba membentuk sosok kecil. Itu adalah Lumi!
Lumi: (khawatir) “Randra, kau harus hati-hati! Bayangan itu adalah makhluk dari Dunia Gelap. Mereka ada di sini untuk mencuri harapan manusia, dan sekolah ini adalah target mereka berikutnya.”
Randra: (bingung) “Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan untuk menghentikan mereka?”
Lumi menjelaskan bahwa Bayangan Hitam dipicu oleh keraguan dan ketakutan dalam hati manusia, yang diperkuat oleh kurangnya mimpi dan harapan. Untuk mengalahkan bayangan itu, Randra harus meyakinkan teman-temannya untuk percaya pada mimpi mereka lagi.
Ketika malam semakin larut, bayangan itu semakin kuat. Randra menyadari bahwa ia tidak bisa melakukan ini sendirian. Ia mengumpulkan teman-temannya, menceritakan kisahnya tentang Dunia Cahaya, dan meminta mereka untuk tidak takut. Dengan keberanian bersama, mereka memegang batu itu, yang cahayanya semakin terang hingga menyelimuti seluruh sekolah.
Bayangan Hitam itu akhirnya musnah, meninggalkan langit yang lebih cerah keesokan harinya. Randra tersenyum. Ia tahu petualangannya masih jauh dari selesai, tetapi ia tidak akan pernah menyerah menjaga cahaya mimpi tetap hidup.
*****
Rahasia Mata Rania!
Rania selalu tahu dirinya berbeda. Pada usia 10 tahun, ia memiliki kemampuan yang membuatnya terlihat seperti anak pemalu di luar, namun penuh dengan rahasia besar di dalam. Mata cokelat mudanya, yang tampak biasa bagi kebanyakan orang, menyimpan kekuatan yang tidak dimiliki orang lain: ia dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Saat Randra kembali dari petualangan di Dunia Cahaya, ia merasa ada sesuatu yang berubah pada Rania. Tidak lama setelah Randra pulang dengan batu bersinarnya, Rania mulai menunjukkan tanda-tanda “membangkitkan” kemampuan spesialnya.
Sore itu, di halaman belakang rumah, Rania menatap langit mendung dengan pandangan kosong. Randra menyadari ada sesuatu yang tidak biasa.
Randra: (berjongkok di dekat Rania) “Kenapa, Rania? Kamu melamun lagi?”
Rania: (berbisik) “Langit sedang menangis… Tapi aku juga melihat sesuatu, Kak. Ada bayangan hitam di atas sana.”
Randra: (bingung) “Bayangan? Di mana?”
Rania menunjuk ke arah pohon tua di kejauhan. Ketika Randra menoleh, ia hanya melihat cabang-cabang pohon yang tertiup angin. Namun, Rania tidak berbohong. Ia benar-benar melihat sesuatu—sesuatu yang tidak berasal dari dunia ini.
Malamnya, saat Randra tertidur, Rania bermimpi tentang Dunia Cahaya, meski ia tidak pernah mendengarnya secara langsung. Dalam mimpinya, ia melihat Lumi, sang Penjaga Cahaya, memanggil namanya dengan lembut.
Lumi: (dalam mimpi) “Rania, kekuatanmu penting. Kamu adalah Mata Cahaya, yang mampu melihat keseimbangan di antara Dunia Cahaya dan Dunia Gelap. Jangan takut, gunakan matamu untuk membantu Randra menjaga harapan dunia.”
Rania terbangun dengan keringat dingin di dahinya. Suara Lumi terus terngiang di kepalanya. Sejak malam itu, ia mulai sering melihat bayangan hitam yang mengintai sekitar desa. Bayangan yang sama yang diceritakan oleh kakaknya, Randra, sebagai makhluk dari Dunia Gelap.
Rania tahu ia harus berbicara dengan Randra tentang mimpinya. Ketika ia menceritakan semuanya, Randra tampak kaget, tetapi juga bangga.
Randra: (tersenyum kecil) “Jadi, kau juga bagian dari ini, Rania. Aku tahu kau punya sesuatu yang spesial. Sekarang aku mengerti, kita harus bekerja sama.”
Dengan batu bersinar milik Randra dan mata tajam Rania yang mampu melihat makhluk dari Dunia Gelap, mereka mulai bekerja sama melindungi desa. Namun, ini tidak mudah bagi Rania. Bayangan gelap itu tampak semakin dekat dan semakin kuat, terutama di sekitar sekolahnya.
Rania: (gemetar) “Kak, mereka ada di sini… Mereka ingin mengambil cahaya dari teman-teman kita.”
Randra: (menggenggam bahu Rania) “Kamu tidak sendiri, Rania. Aku ada di sini untuk membantumu.”
Dalam salah satu penglihatannya, Rania melihat bayangan besar yang mencoba masuk ke ruang kelas di sekolahnya. Mengikuti petunjuk matanya, Rania dan Randra berhasil mengusir makhluk itu dengan bantuan batu bersinar. Namun, sebelum lenyap, bayangan itu berbisik:
Bayangan: (suara serak) “Kalian tidak akan bisa melindungi mereka selamanya… Sang Penguasa Kegelapan akan datang.”
Rania merasa merinding mendengar kata-kata itu. Tetapi, di balik ketakutannya, ia merasakan keberanian yang perlahan tumbuh. Ia tahu bahwa kekuatannya bukanlah kutukan, melainkan sebuah anugerah yang harus digunakan untuk kebaikan.
*****
Bunda Sang Ratu Cahaya!
Sejak kecil, Randra dan Rania selalu merasakan sesuatu yang istimewa dari ibu mereka, Bunda Indira. Meskipun hidup mereka sederhana sebagai keluarga nelayan, ada ketenangan dan kehangatan dari kehadirannya yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setiap kali ia tersenyum, cahaya lembut seolah memancar di sekelilingnya, membuat siapa pun merasa damai.
Namun, ada malam-malam di mana Bunda Indira duduk sendiri di tepi pantai, menatap cakrawala dengan ekspresi penuh kerinduan. Seolah-olah, ia sedang mengingat sesuatu yang sudah lama hilang.
Malam itu, saat Rania sedang membaca buku tua peninggalan keluarga di kamar, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah halaman tersembunyi di belakang buku itu. Halaman itu berisi lambang yang bercahaya samar, dan di bawahnya tertulis sebuah nama: Ratu Cahaya, Penjaga Harapan Dunia.
Rania: (mengernyit) “Ratu Cahaya? Siapa dia? Kenapa ini ada di sini?”
Ketika Randra mendengar cerita Rania, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Ingatannya melayang ke batu bercahaya yang diberikan oleh Sang Penjaga Mimpi dan kata-kata Lumi tentang Dunia Cahaya. Mereka memutuskan untuk menghadapi Bunda Indira bersama-sama.
Saat mereka mendekati ibu mereka di tepi pantai, malam itu begitu sunyi. Angin membawa aroma asin lautan, dan bintang-bintang bersinar terang seperti biasa.
Randra: (ragu-ragu) “Bunda, kami ingin bertanya. Apakah ada sesuatu tentang diri Bunda… yang belum Bunda ceritakan kepada kami?”
Bunda Indira, yang biasanya tersenyum lembut, terdiam. Matanya berkabut sejenak sebelum ia menghela napas panjang.
Bunda Indira: (pelan) “Kalian sudah cukup besar untuk mengetahuinya. Ada sesuatu yang harus Bunda akui…”
Ia mengangkat tangannya perlahan. Cahaya lembut tiba-tiba memancar dari tubuhnya, membentuk gaun putih bersinar dengan mahkota kecil di kepalanya. Mata Rania melebar, sementara Randra menahan napas.
Bunda Indira: (berbisik) “Bunda adalah Ratu Cahaya, penguasa Dunia Cahaya… atau setidaknya, dulunya begitu. Namun, Iblis Kegelapan mengutuk Bunda, mencabut takhta dan kekuatan sepenuhnya. Mereka memaksa Bunda untuk hidup di dunia manusia, berharap Bunda kehilangan semua cahaya Bunda.”
Rania: (terkejut) “Jadi… kita berasal dari Dunia Cahaya?”
Bunda Indira mengangguk, air mata perlahan mengalir di pipinya. “Kalian adalah Pangeran dan Putri Cahaya, penerus kekuatan yang hilang. Tapi untuk melindungi kalian, Bunda menyembunyikan kebenaran ini… sampai sekarang.”
Randra dan Rania merasa bingung sekaligus kagum. Mereka mulai memahami kenapa mereka memiliki kemampuan unik—keberanian dan batu bercahaya milik Randra, serta penglihatan supernatural Rania, adalah warisan dari ibu mereka.
Namun, kebahagiaan ini tak berlangsung lama. Cahaya di tubuh Bunda Indira perlahan meredup, seolah-olah kutukan dari Iblis Kegelapan mulai kembali menguasainya.
Bunda Indira: (lemah) “Kutukan ini… semakin kuat. Kalian harus bersiap. Iblis Kegelapan tahu tentang kalian, dan mereka tidak akan berhenti sampai kalian menyerah pada kegelapan.”
Randra: (bertekad) “Tidak, Bunda. Kami akan melawan. Aku tidak peduli seberapa kuat mereka. Aku akan melindungi keluarga kita.”
Rania menggenggam tangan kakaknya, matanya bersinar tegas. “Aku juga, Kak. Mata Cahaya ini tidak akan membiarkan mereka menang.”
Dengan pengetahuan baru tentang asal-usul mereka, Randra dan Rania menyadari bahwa tugas mereka jauh lebih besar daripada hanya menjaga desa. Mereka adalah pewaris takhta Dunia Cahaya, dan merekalah harapan terakhir untuk memulihkan keseimbangan antara Cahaya dan Kegelapan.
*****
Bayangan Kegelapan
Suasana di desa kecil tempat Randra dan Rania tinggal mulai berubah. Udara terasa lebih berat, dan malam hari menjadi lebih mencekam. Beberapa penduduk desa mulai berbicara tentang seorang perempuan tua yang muncul di batas desa, mengaku sebagai peramal. Ia dipanggil Nenek Kalaitam, dengan mata tajam seperti elang dan tongkat kayu hitam yang selalu ia bawa.
Nenek Kalaitam: (berbisik pada seorang penduduk) “Jika kau ingin semua keinginanmu terkabul, datanglah padaku. Aku bisa memberimu kekuatan… lebih dari yang pernah kau impikan.”
Penduduk desa yang lemah hati mulai tergoda oleh bujuk rayunya. Namun, yang tidak mereka sadari, kekuatan yang dijanjikan oleh Nenek Kalaitam bukanlah anugerah, melainkan kutukan dari Iblis Kegelapan. Ia adalah abdi setia Sang Iblis, dan tugasnya adalah mencari jiwa-jiwa lemah untuk menjadi pion dalam rencana besar mereka.
Di sisi lain, Mandalik, seorang teman sekolah Randra yang berusia 13 tahun, merasa iri pada perhatian yang didapatkan Randra di sekolah. Ia adalah anak yang cerdas namun selalu merasa kurang dihargai. Ketika Nenek Kalaitam mendekatinya, ia tidak bisa menolak tawarannya.
Nenek Kalaitam: (tersenyum licik) “Anak muda, aku bisa memberimu sesuatu yang selama ini kau dambakan—kekuatan dan rasa hormat. Kau hanya perlu mempercayai aku.”
Mandalik, yang sudah merasa terasing dari dunia sekitarnya, akhirnya menyerah pada bujuk rayu Nenek Kalaitam. Tanpa ia sadari, ia mulai berubah. Matanya perlahan menjadi gelap seperti malam tanpa bintang, dan bayangan yang mengikutinya terasa lebih hidup.
Lama-kelamaan, Mandalik berubah menjadi Pangeran Kegelapan, sosok yang kuat namun terikat penuh pada kendali Iblis Kegelapan. Ia menjadi lawan langsung bagi Randra, memanfaatkan kekuatan kegelapan untuk menghancurkan harapan dan mimpi.
Kehadiran Mandalik mulai terasa mengancam. Di sekolah, ia sering menatap teman-temannya dengan tatapan dingin, dan beberapa dari mereka mulai merasa kehilangan semangat. Randra menyadari ada sesuatu yang salah ketika ia melihat teman-temannya mulai merasa takut tanpa alasan yang jelas.
Rania, dengan Mata Cahayanya, akhirnya mengungkap kebenaran.
Rania: (berbisik pada Randra) “Kak, aku melihatnya… Mandalik. Ada bayangan gelap yang menyelimutinya. Dia bukan Mandalik yang kita kenal lagi.”
Randra tidak percaya pada awalnya, tetapi ketika ia mendekati Mandalik, ia merasakan aura gelap yang kuat. Dengan hati-hati, Randra mencoba berbicara dengannya.
Randra: (memanggil) “Mandalik, apa yang terjadi padamu? Kau tidak seperti ini sebelumnya.”
Namun, Mandalik hanya tertawa kecil, suaranya terdengar lebih dalam dan menyeramkan.
Mandalik: (dingin) “Ini adalah siapa aku sebenarnya, Randra. Dan kau… akan menyesal pernah meremehkanku.”
Nenek Kalaitam, di belakang layar, terus memanipulasi Mandalik untuk menyerang Randra dan Rania. Ia tahu bahwa mereka adalah ancaman bagi rencana besar Iblis Kegelapan. Di malam yang gelap, di halaman belakang sekolah, Mandalik melancarkan serangan pertamanya.
Namun, Rania dengan Mata Cahayanya mampu melihat kelemahan Mandalik. Ia menyadari bahwa masih ada secercah kebaikan di dalam hati Mandalik yang dapat mereka selamatkan.
Rania: (berbisik pada Randra) “Kak, aku bisa melihatnya… Dia belum sepenuhnya menjadi milik mereka. Kita harus mencoba menyelamatkannya!”
Randra, yang memegang Batu Cahaya, mencoba memanggil Mandalik dengan suara penuh harapan.
Randra: (tegas) “Mandalik, aku tahu kau lebih baik dari ini. Kau bisa melawan mereka. Aku di sini untuk membantumu!”
Namun, kegelapan dalam hati Mandalik masih terlalu kuat. Ia menyerang Randra dan Rania, memaksa mereka untuk melarikan diri sementara.
Setelah kejadian itu, Randra dan Rania sadar bahwa perjuangan mereka tidak hanya melawan Nenek Kalaitam dan Iblis Kegelapan, tetapi juga untuk menyelamatkan teman mereka yang terperangkap. Mereka bertekad untuk menemukan cara mengalahkan kegelapan yang menguasai Mandalik, sekaligus mengungkap rencana besar Iblis Kegelapan.
*****
Juru Kunci Cahaya
Pagi itu, suasana di sekolah terasa berbeda. Langit cerah, tetapi hati Randra penuh dengan kecemasan. Bayangan gelap yang terus membayangi kehidupan mereka semakin kuat, dan Mandalik, kini sebagai Pangeran Kegelapan, menjadi ancaman nyata. Di tengah kekacauan ini, satu-satunya tempat yang terasa sedikit aman adalah kelas mereka. Namun, ada satu orang yang selama ini luput dari perhatian: Pak Mahesa, guru sejarah yang selalu terlihat tenang dan penuh wibawa.
Pak Mahesa dikenal sebagai guru yang bijaksana, tetapi sedikit tertutup. Ia sering mengungkapkan pandangan hidup yang mendalam dalam pelajaran sejarahnya, membuat siswa merasa bahwa ia lebih dari sekadar pendidik biasa. Tapi Rania mulai merasakan sesuatu yang berbeda tentangnya. Mata Cahaya miliknya melihat aura samar berwarna keemasan di sekitar Pak Mahesa, sesuatu yang ia belum pernah lihat sebelumnya pada manusia lain.
Suatu sore, ketika Randra dan Rania sedang berdiskusi di halaman belakang sekolah tentang cara menghadapi Mandalik, suara lembut menyela mereka.
Pak Mahesa: (tersenyum) “Sepertinya kalian sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius.”
Randra: (terkejut) “Pak Mahesa? Oh, ini hanya… tugas sekolah.”
Namun, tatapan Pak Mahesa membuat mereka tidak bisa berbohong. Ia duduk di bangku kayu di dekat mereka, lalu berkata dengan nada yang penuh arti.
Pak Mahesa: (tenang) “Randra, Rania, aku tahu lebih banyak dari yang kalian pikirkan. Dan mungkin ini saatnya kalian tahu siapa aku sebenarnya.”
Dengan satu gerakan tangannya, udara di sekitar mereka berubah. Cahaya lembut menyelimuti tubuh Pak Mahesa, menggantikan pakaian biasa dengan jubah keperakan yang indah. Rania terkejut melihat lambang Dunia Cahaya di dada Pak Mahesa.
Pak Mahesa: (suara lebih dalam) “Aku adalah Mahesa, Sang Juru Kunci Cahaya, utusan langsung dari Dunia Cahaya. Tugasku adalah melindungi Ratu Indira dan pewarisnya… kalian.”
Randra dan Rania hanya bisa terdiam. Selama ini, sosok yang mereka pikir sebagai guru biasa ternyata adalah pelindung mereka yang paling setia.
Mahesa menjelaskan bahwa ia telah menghabiskan bertahun-tahun menyamar di dunia manusia untuk memastikan keselamatan Ratu Indira dan anak-anaknya. Ia juga mengungkapkan bahwa kutukan yang dikenakan pada Ratu Indira oleh Iblis Kegelapan telah melemahkan kekuatan Cahaya, membuat mereka semua rentan terhadap serangan.
Pak Mahesa: (penuh tekad) “Kalian, Randra dan Rania, adalah harapan terakhir Dunia Cahaya. Tetapi kalian tidak bisa melakukannya sendiri. Aku di sini untuk melatih kalian, untuk membantu kalian memahami kekuatan yang kalian miliki.”
Randra: (bingung) “Pak Mahesa, kenapa baru sekarang Bapak mengungkapkan semua ini?”
Pak Mahesa menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab.
Pak Mahesa: (lirih) “Aku menunggu saat yang tepat, ketika ancaman dari Kegelapan menjadi terlalu besar untuk diabaikan. Dan sekarang… Nenek Kalaitam dan Mandalik adalah ancaman yang tidak bisa kalian hadapi sendirian.”
Di bawah bimbingan Mahesa, Randra mulai memahami lebih dalam tentang Batu Cahaya miliknya dan bagaimana menggunakannya untuk memperkuat keberanian orang-orang di sekitarnya. Sementara itu, Rania belajar mengendalikan Mata Cahaya miliknya untuk melihat jalur tersembunyi menuju Dunia Gelap, tempat kutukan ibunya berasal.
Mahesa mengajari mereka teknik bertahan dan menyerang menggunakan energi Cahaya. Ia juga berbagi cerita tentang pertarungan terdahulu melawan Iblis Kegelapan, mengingatkan mereka bahwa kemenangan hanya mungkin jika mereka bekerja bersama dan percaya pada kekuatan mereka sendiri.
Pak Mahesa: (tegas) “Ingat, kegelapan hanya bisa menang jika kalian menyerah pada rasa takut dan keraguan. Cahaya terbesar ada di dalam hati kalian.”
Sementara itu, Nenek Kalaitam dan Mandalik semakin memperkuat dominasi mereka atas desa. Mereka berencana menyerang langsung keluarga Randra untuk menghancurkan harapan terakhir mereka. Namun, dengan Mahesa di sisi mereka, Randra dan Rania merasa lebih siap dari sebelumnya.
Namun, Mahesa memperingatkan bahwa pertarungan besar yang sebenarnya masih belum dimulai.
Pak Mahesa: (memperingatkan) “Iblis Kegelapan tahu tentang kalian, dan dia tidak akan tinggal diam. Ini hanya awal. Kalian harus mempersiapkan diri, karena perjalanan ini akan menguji segalanya—keberanian, keyakinan, dan cinta kalian satu sama lain.”
Pak Mahesa menatap Randra dan Rania dengan serius setelah mengungkapkan jati dirinya sebagai Juru Kunci Cahaya. Suaranya penuh dengan ketegangan, seolah-olah ia tahu bahwa waktu mereka semakin menipis.
Pak Mahesa: (berbisik tegas) “Kalian harus bersiap. Kegelapan tidak akan menunggu kita. Tapi ada sesuatu yang penting yang belum kalian ketahui… sesuatu yang bahkan Ratu Indira pun coba sembunyikan dari kalian selama ini.”
Randra: (bingung) “Apa maksud Bapak? Apa lagi yang kami tidak tahu?”
Sebelum Mahesa sempat menjawab, bumi di bawah mereka bergetar. Sebuah suara parau menggema di udara, begitu kuat hingga jantung Rania terasa berhenti berdetak. Bayangan hitam menjulang dari ujung desa, membentuk sosok menyeramkan dengan mata merah menyala. Itu adalah Nenek Kalaitam, bersama Mandalik yang tampak lebih gelap dan kuat dari sebelumnya.
Nenek Kalaitam: (tertawa licik) “Rahasia tidak akan menyelamatkan kalian, Mahesa. Akhirnya, waktunya tiba untuk membawa mereka ke tempat asal mereka… dalam kegelapan abadi.”
Pak Mahesa berdiri tegak, melindungi Randra dan Rania di belakangnya.
Pak Mahesa: (tegas) “Bersiaplah. Ini baru awal dari pertempuran yang sebenarnya.”
Dan dalam sekejap, semuanya diliputi oleh cahaya dan bayangan yang berbenturan.
Tunggu kelanjutan kisah epik Penjaga Cahaya hanya di episode berikutnya! Ketegangan semakin memuncak, rahasia-rahasia baru siap terungkap, dan pertempuran antara cahaya dan kegelapan semakin mendekati titik kritis. Akankah Randra dan Rania mampu melindungi warisan mereka? Atau justru bayangan kegelapan akan menyelimuti segalanya?
Jangan lewatkan babak selanjutnya, di mana takdir Dunia Cahaya akan ditentukan. Cerita ini baru saja dimulai, dan petualangan mereka semakin mendalam. Tetap pantau kelanjutan kisahnya hanya di PesonaDunia.Com!
bersambung…
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.