NEGARA MEMBARA I : PERANG DALAM BAYANG-BAYANG
Malam masih menggantung, kelam dan penuh ketegangan. Udara Jakarta bercampur dengan bau mesiu dan keringat para pejuang yang belum mengenal kata takut.
Letak! Letak! Letak!
Desingan peluru memecah langit. Sekelompok serdadu Jepang berdiri tegak di depan markas mereka, senapan siap memuntahkan timah panas ke arah puluhan pemuda pelajar yang berdemo menuntut kemerdekaan.
“Kita bukan budak! Indonesia bukan negeri jajahan!” teriak seorang pemuda, suaranya nyaring menembus teriakan kepanikan di sekelilingnya.
Lalu—BRAK!
Ledakan terjadi di sudut jalan, mengguncang tanah dan menghantam dinding bangunan tua. Tubuh-tubuh berjatuhan, jeritan menggema, darah mengalir di trotoar yang dingin. Namun para pemuda itu tak mundur. Mereka tetap berdiri, tangan terkepal, mata menyala seperti api yang tak bisa padam.
Di tengah kekacauan itu, seorang pemuda melangkah keluar dari bayang-bayang gedung tua. Saka Negara.
Pandangannya tajam, penuh perhitungan. Tubuhnya berbalut jaket lusuh, tangan kanan menggenggam sebilah belati. Bukan senapan. Bukan senjata berat. Hanya keyakinan dan kemarahan yang membara di dalam dirinya.
Dia melihat temannya terjatuh—Adipati, tertembak di bahu, darah mengalir deras. Namun tak ada waktu untuk bersedih. Saka Negara tahu perlawanan harus berlanjut.
Dia bergerak cepat. Tubuhnya menukik, menghindari peluru yang melesat seperti hujan besi. Dalam sekejap, dia sudah berada di belakang salah satu serdadu Jepang, meraih lehernya, dan—Srek!
Belati berkilat di udara.
Seorang prajurit jatuh, senjatanya terguling ke tanah.
Saka Negara tidak sendiri. Puluhan pemuda lain mulai menyerbu, menggunakan apa pun yang mereka bisa—bambu runcing, batu, kepalan tangan, bahkan semangat yang lebih tajam dari baja Jepang.
*****
Sebuah ruangan sempit di sudut kota, redup diterangi cahaya dari lampu minyak yang berkelip lemah. Bau tembakau dan kertas basah bercampur di udara—tempat ini bukan hanya tempat berlindung, melainkan pusat perlawanan yang diam-diam tumbuh dalam bayang-bayang penjajahan.
Di sudut ruangan, Saka Negara duduk dengan punggung tegak, mata tajam menatap peta lusuh yang terbentang di meja kayu. Jaket cokelatnya sedikit robek di bagian bahu, terkena gesekan dari pertempuran sebelumnya. Syal merah yang dililit di lehernya terlihat usang, tapi bagi Saka, itu adalah warisan keluarga—mungkin satu-satunya peninggalan masa lalu yang masih melekat padanya.
Di sampingnya, Rima Anggraini—seorang perempuan dengan sorot mata penuh keberanian—sedang mencatat sesuatu di buku kecilnya. Baju kurung Jawa dengan selendang hitam membalut tubuhnya, tampak sederhana tapi tetap memancarkan keteguhan. Di tangannya, ada pisau lipat kecil yang sesekali disentuhnya, seakan mengingatkan bahwa ia siap bertarung kapan saja.
Halim Kusuma, sahabat setia Saka, berdiri dekat pintu, bersandar dengan kemeja putih kusut dan celana panjang abu-abu. Tangan kanannya masih memegang kopiah yang baru saja dilepasnya—keringat di dahinya menunjukkan ketegangan yang merayapi tubuhnya.
Di sisi lain meja, beberapa pemuda dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada duduk dengan wajah serius. Salah satu dari mereka, Jatmiko, mengenakan jas akademik yang sudah lusuh, tapi tetap berusaha menjaga penampilannya sebagai seorang intelektual. Sementara Darmo, seorang mahasiswa teknik dari Bandung, hanya mengenakan kaos abu-abu dengan kain batik yang diikat di pinggangnya.
“Aku dengar pasukan Jepang akan menambah penjagaan di markas mereka setelah penembakan kemarin,” kata Rima, suaranya rendah namun tajam.
“Aku juga dapat informasi dari orang dalam,” sahut Halim. “Hendrawan… dia semakin dekat dengan Nakayama. Aku tak yakin kita bisa mempercayainya lagi.”
Saka menghela napas, jemarinya mengetuk meja. Hendrawan pernah jadi saudara seperjuangan, tapi kini dia berada di sisi musuh.
“Apa pun yang terjadi, kita harus lanjutkan rencana. Kita tak bisa membiarkan mereka menang,” kata Saka, matanya menyala penuh tekad.
Rima menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Baik. Kita mulai. Negara kita membara, dan kita akan memastikan bara ini tidak padam.”
*****
Ruangan itu terasa lebih sesak dari biasanya. Lampu minyak di sudut meja bergetar pelan, memantulkan bayangan wajah-wajah yang penuh ketegangan. Saka Negara duduk di tengah, matanya tajam menatap peta yang kini penuh coretan strategi. Di sebelahnya, Rima menggenggam pensil, mencatat setiap rencana dengan rapi. Halim berdiri di dekat pintu, seperti biasa, menjaga suasana tetap terkendali.
Tiba-tiba, pintu kayu itu terbuka dengan keras. Diman, seorang pemuda kurus dengan rambut acak-acakan, masuk tergesa-gesa. Napasnya tersengal, dan tangannya memegang erat selembar koran yang sudah kusut.
“Sa… Saka! Saka!” teriak Diman, suaranya melengking, membuat semua orang di ruangan itu menoleh.
“Ada apa, Diman?” tanya Saka, alisnya mengernyit.
Diman mencoba bicara, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. “Bom… bom… di… di Jepang… di… di kota… kota…”
“Diman, tarik napas dulu,” kata Halim, menepuk bahunya. “Kamu kayak mau pingsan.”
Diman mengangguk cepat, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat koran itu tinggi-tinggi. “Hi… Hiroshima! Nagasaki! Jepang kena bom besar!”
Ruangan itu langsung hening. Semua orang saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.
“Bom besar?” Rima akhirnya memecah keheningan. “Apa maksudnya, Diman?”
Diman membuka koran itu dengan tangan gemetar, menunjukkannya ke Saka. “Ini… ini dari koran luar negeri. Mereka bilang… bom ini… besar sekali. Kota… kota itu hancur… rata dengan tanah!”
Saka mengambil koran itu, matanya menyusuri tulisan-tulisan asing yang sulit dipahami. Tapi gambar di halaman depan sudah cukup menjelaskan segalanya—sebuah kota yang terbakar, dengan asap hitam membumbung tinggi ke langit.
“Ini… bom atom,” gumam Saka, suaranya rendah tapi penuh ketegangan.
“Bom atom?” Halim mengulang, matanya membelalak. “Apa itu? Seberapa besar kekuatannya?”
“Cukup besar untuk menghancurkan seluruh kota,” jawab Saka, meletakkan koran itu di meja. “Ini bukan hanya tentang Jepang. Ini tentang dunia. Kalau mereka bisa menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya?”
Diman, yang masih berdiri di sudut ruangan, tiba-tiba angkat bicara lagi. “Ta… tapi… tapi ada sisi baiknya, kan? Ka… kalau Jepang kalah, kita… kita bisa merdeka lebih cepat!”
Halim tertawa kecil, meskipun suasana masih tegang. “Diman, kamu ini selalu bisa bikin suasana jadi aneh. Tapi mungkin kamu benar.”
Rima menggeleng, meskipun senyum tipis muncul di wajahnya. “Diman, kamu memang lucu. Tapi ini bukan hanya soal merdeka. Ini soal apa yang akan terjadi pada dunia setelah ini.”
Saka berdiri, menatap semua orang di ruangan itu. “Kita tidak bisa hanya menunggu. Apa pun yang terjadi, kita harus tetap bergerak. Jepang mungkin kalah, tapi perjuangan kita belum selesai.”
Semua orang mengangguk, termasuk Diman, meskipun wajahnya masih terlihat bingung.
“Baik,” kata Saka akhirnya. “Kita lanjutkan rencana. Negara ini membara, dan kita harus memastikan api ini tidak padam.”
*****
Gelap. Sunyi.
Saka berdiri di tanah berbatu yang terasa panas di telapak kakinya. Langit di atasnya bukan biru, tetapi merah tua, berpendar seperti api yang menyala dari kejauhan. Angin berhembus membawa bisikan yang tak bisa ia mengerti—seperti suara dari masa lalu yang ingin ia dengarkan tapi tak mampu ia pahami.
Lalu, dari balik kabut yang bergulung-gulung, dua sosok muncul.
Saka terkesiap.
Di hadapannya berdiri Sagara, dengan jubah putih yang berkibar perlahan, ikat kepala dan pinggangnya terpasang sempurna, seperti seorang kesatria yang datang membawa kebenaran. Di sampingnya, Arya Saka, mengenakan pakaian perang dengan lambang naga, sorot matanya tajam, penuh wibawa.
Namun sesuatu terasa aneh.
Saka menatap Arya Saka lebih lama.
Wajah Arya Saka mirip dirinya sendiri.
Tapi mata dan rambutnya? Mirip Sagara.
“Ini… apa ini?” Saka menggumam, merasa seperti melihat pantulan dirinya dalam dua sosok yang berbeda.
Sagara melangkah lebih dekat. “Kau sudah jauh dalam perjalananmu, Saka Negara.”
Arya Saka mengangguk, menilai pemuda itu dengan seksama. “Tapi kau belum tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Saka menelan ludah. “Aku hanya seorang pejuang. Aku berjuang untuk negeri ini.”
Sagara tersenyum tipis. “Negeri ini lebih dari sekadar tanah dan rakyatnya. Ada warisan yang kau bawa, sesuatu yang lebih besar dari yang kau sadari.”
Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang.
Pasir beterbangan.
Dunia berubah.
Di hadapan Saka, sebuah ruangan luas muncul—penuh dengan cahaya putih dan layar-layar bercahaya.
Di tengahnya, seorang perempuan duduk tegap. Kenanga Hangestri.
Wajahnya asing, tapi sorot matanya tajam, penuh keyakinan. Ia membaca laporan dengan serius, orang-orang di sekitarnya menunggu instruksi darinya.
Saka menatap perempuan itu. Kenanga?
Siapa dia?
Mengapa ia merasa… terhubung dengannya?
Lalu semuanya runtuh.
Langit merah berubah menjadi hitam.
Suara ledakan menggema.
Saka terjatuh ke dalam kegelapan.
BRAK!
Saka terbangun dengan teriakan tertahan.
Di hadapannya, Rima mengguncang bahunya dengan wajah panik.
“Saka! Bangun! Pasukan Jepang menyerang brutal di wilayah Jakarta!”
Saka mengerjap, masih merasakan sisa mimpi yang mengguncang pikirannya. Tapi tak ada waktu untuk merenung.
Ia bangkit, meraih jaketnya.
*****
Langit mendung. Aroma asap dan besi memenuhi udara.
Di sudut kota, rumah-rumah terbakar, jeritan terdengar di antara deru kendaraan militer Jepang yang melaju tanpa ampun. Pasukan mereka menyerbu—tanpa batas, tanpa peringatan.
Saka Negara berlari cepat di antara bangunan yang hangus, napasnya memburu. Di belakangnya, Rima dan Halim mengikuti dengan ekspresi penuh ketegangan.
“Kita harus selamatkan warga yang masih terjebak!” teriak Rima.
Halim mengangguk cepat, tapi matanya tetap waspada ke segala arah. “Jepang pasti punya motif lain selain pembantaian ini.”
Di tengah huru-hara, Hendrawan muncul.
Dia mengenakan seragam Jepang—sesuatu yang membuat darah Saka mendidih.
“Kenapa lo ada di sini?” desis Saka, tatapannya penuh kemarahan.
Hendrawan mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan ia tidak membawa senjata. “Gue bisa kasih informasi penting tentang mereka.”
Halim langsung mencengkram kerah Hendrawan. “Omong kosong! Lo udah jadi anjing Jepang sekarang!”
Hendrawan menatapnya tajam. “Lo pikir gue berkhianat? Gue ada di dalam pasukan mereka karena satu alasan… Gue punya informasi tentang kelemahan pasukan Jepang.”
Saka tetap diam, tetapi matanya mencari kejujuran dalam sorot Hendrawan.
“Ada dokumen rahasia. Jepang sedang mempersiapkan serangan yang lebih besar. Mereka nggak akan membiarkan negeri ini merdeka. Mereka punya gudang senjata yang bisa diledakkan dari dalam.”
Saka mendengus. “Dan lo pikir gue bakal percaya omong kosong lo?”
Hendrawan mendekat lebih jauh, lalu berbisik. “Lo harus percaya. Ini satu-satunya cara buat mengakhiri dominasi Jepang di Jakarta.”
Rima dan Halim saling pandang. Keputusan ada di tangan Saka.
Mereka harus memilih—mengambil risiko dan mengikuti rencana Hendrawan, atau tetap menganggapnya musuh?
Saka akhirnya bicara. “Bawa kita ke sana. Kalau lo bohong, gue sendiri yang bakal ngelawan lo.”
Menuju Gudang Senjata Jepang
Malam menjelang, mereka tiba di gudang yang dikatakan Hendrawan. Lokasi itu berada di dalam wilayah penjagaan ketat, dan hanya mereka bertiga yang menyusup ke dalam.
“Terlalu sepi,” gumam Halim, mengamati sekeliling dengan waspada.
Saka melangkah lebih maju, merasakan firasat buruk.
Tiba-tiba…
Seseorang berdiri di dalam gudang.
Saka membeku.
Lelaki itu berpakaian lusuh, wajahnya penuh luka perang, tapi ada sesuatu yang aneh.
Ikatan kepala dan pinggangnya… mirip dengan yang Saka lihat dalam mimpinya.
Jantungnya berdetak kencang.
Siapa dia?!
Orang itu menatapnya dalam diam. Matanya seperti mengetahui sesuatu yang seharusnya belum terungkap.
Saka melangkah maju, tetapi orang itu hanya berkata satu kalimat sebelum menghilang ke dalam bayangan.
“Perjalanan lo baru mulai, Saka Negara.”
BERSAMBUNG!
DISCLAIMER: *Kisah ini adalah karya fiksi yang terinspirasi dari sejarah dan imajinasi kreatif. Seluruh karakter, kejadian, dan alur cerita adalah hasil rekaan yang tidak secara langsung mewakili individu atau peristiwa nyata.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.