Tidak ada plang besar. Tidak ada arakan pejabat. Tapi di pantai sunyi Pulau Sabira, sebuah peristiwa terus berlangsung sejak awal tahun ini: telur-telur penyu sisik menetas, satu per satu, diam-diam, seperti harapan yang menolak punah. Hingga April 2025, sebanyak 2.531 butir telur penyu berhasil diselamatkan, menjadikannya salah satu tonggak konservasi terbesar di Kepulauan Seribu.
Pencapaian ini lahir dari tangan-tangan muda Karang Taruna Pulau Sabira yang bekerja bersama PT Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatra (PHE OSES), dalam program yang mereka beri nama “Tiga Perisai.” Sebuah nama yang melampaui teknis konservasi—ia mencerminkan keberanian menjaga, mengedukasi, dan bertahan dalam kerja jangka panjang.
PHE OSES bukan sekadar donatur. Mereka membangun rumah penetasan, menyusun modul edukasi, dan merancang pondok informasi yang kini menjadi destinasi konservasi di Sabira. Tapi lebih dari infrastruktur, yang dibangun adalah rasa percaya bahwa pelestarian tidak harus lahir dari keramaian, melainkan dari keberlanjutan.
Gunawan, Ketua Karang Taruna setempat, menyebut ini sebagai bukti bahwa anak muda tak hanya bisa bersuara, tetapi juga menjaga. Mereka tidak menunggu momen viral, mereka merawat satu sarang demi satu sarang, melindungi setiap telur dari predator dan cuaca. Yang mereka lindungi bukan hanya penyu, tapi warisan laut yang terus tergerus.
Tidak semua orang tahu bahwa penyu sisik adalah spesies yang makin terancam. Ia tak hanya penting bagi ekosistem terumbu karang, tapi juga membawa memori panjang tentang migrasi, arah pulang, dan kesinambungan. Dalam ilmu biologi, ini disebut natal homing—ketika sang induk kembali bertelur di pantai yang sama tempat ia menetas dulu. Dalam bahasa rasa, ini adalah pulang.
Pulau Sabira kini menjadi contoh bahwa pulau kecil pun bisa memberi suara besar untuk konservasi. Anak-anak muda di sana bukan cuma belajar tentang penyu, mereka ikut berbicara di forum nasional seperti Indonesia Sea Turtle Symposium. Mereka membawa Sabira ke peta, bukan sebagai catatan konflik, tapi sebagai ruang belajar tentang ketekunan dan perlindungan.
Indra Darmawan, Head of Communication & Relations PHE OSES, menyebut bahwa keberhasilan ini bukan hasil satu lembaga. Ia lahir karena gotong royong, karena warga percaya bahwa laut bukan milik siapa-siapa, melainkan tanggung jawab bersama.
Dalam dunia yang makin bising, Pulau Sabira memilih jalan lain: merawat sunyi. Di antara pasir, malam, dan suara ombak yang tak pernah bosan, 2.531 kehidupan baru memulai perjalanannya. Mereka mungkin akan kembali 20 tahun dari sekarang, membawa telur-telur lain ke tempat ini—jika Sabira masih aman, jika janji perlindungan masih ditepati.
Dan tugas kita hari ini bukan hanya mengagumi. Tapi memastikan bahwa janji itu terus dijaga.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.