Pagi itu, langit Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, masih tenang. Udara dingin menyelimuti tanah, dan suara burung terdengar samar di kejauhan. Tapi dalam hitungan detik, semuanya berubah. Ledakan dahsyat mengguncang bumi, mengoyak udara dengan suara yang menggetarkan jiwa.
Anjas Tajudin Rahayu (30) berdiri hanya 25 meter dari titik ledakan. Ia tidak sempat berpikir, tidak sempat bertanya—hanya sempat merasakan panas yang membakar kulitnya dan melihat serpihan tulang serta daging beterbangan di udara. Satu potongan tulang menghantam punggungnya, menempel di bajunya yang robek akibat api.
Ia tidak menunggu. Tangannya gemetar saat memutar gas motor, memacu kendaraan menjauh dari neraka yang baru saja tercipta. Di belakangnya, suara jeritan bercampur dengan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi.
Di lokasi pemusnahan amunisi kadaluarsa itu, 13 nyawa melayang—9 warga sipil dan 4 anggota TNI. Mereka tidak sempat berlari, tidak sempat menyelamatkan diri. Ledakan datang tanpa peringatan, tanpa kesempatan kedua.
Anjas selamat karena Rustiawan, seorang pekerja di lokasi, memintanya mengambil peti dan tutup drum yang letaknya jauh dari titik ledakan. Jika tidak, ia mungkin menjadi bagian dari korban yang kini hanya tersisa dalam serpihan yang berserakan di tanah.
Kini, investigasi tengah dilakukan. Apakah ada kelalaian? Apakah prosedur keamanan sudah cukup? Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di udara, sementara Anjas dan korban selamat lainnya berusaha memulihkan diri dari trauma yang masih menghantui.
Karena bagi mereka yang ada di sana, ledakan itu bukan sekadar berita—itu adalah mimpi buruk yang akan terus hidup dalam ingatan mereka.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.