Pulau Sebira, Kepulauan Seribu Utara—Di antara riak laut dan desir angin yang tak pernah lelah menyapa, berdirilah satu pohon. Sendiri. Tak berteman, tak berkoloni. Akar-akarnya mencengkeram pasir dangkal, sebagian terendam air asin yang pasang surut. Warga menyebutnya: Pohon Galau.
Tak ada yang tahu pasti kapan ia tumbuh. Tapi sejak pertama kali ditemukan, pohon ini seolah menjadi simbol dari kesepian yang memilih bertahan. Ia tumbuh di tengah laut, tak jauh dari mercusuar tua peninggalan Belanda yang menjulang di Pulau Sebira—pulau terluar Jakarta yang lebih dekat ke Lampung daripada ke ibu kota.
“Kalau sore, dia seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang,” ujar seorang nelayan tua, sambil menunjuk siluet pohon itu yang berdiri gagah di tengah senja.
Pohon Galau bukan sekadar objek wisata. Ia adalah penjaga sunyi, saksi bisu dari waktu yang berjalan lambat di pulau yang nyaris terlupakan. Banyak yang datang hanya untuk duduk di dekatnya, memotret siluetnya saat matahari tenggelam, atau sekadar diam dan membiarkan angin laut menyampaikan pesan-pesan yang tak terucap.
Di dunia yang serba cepat, Pohon Galau mengajarkan kita tentang diam yang kuat, tentang sendiri yang tidak selalu berarti sepi. Ia tetap tumbuh, meski tak ada yang menemaninya. Ia tetap berdiri, meski ombak terus mengikis pasir di sekitarnya.
Dan mungkin, di sanalah letak pesonanya—ia tidak menunggu siapa pun, tapi selalu ada untuk siapa saja yang datang.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim PesonaDunia.Com. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber (Source News) yang disertakan.